Slow Living: Senjata ampuh di zaman serba cepat

Diposting pada

Saya merasa zaman ini telah sukses memaksa kita melakukan apa-apa serba cepat. Akibatnya, hasil menjadi tak mendalam, tidak berkualitas. Hanya biasa-biasa saja.

Ini bertentangan dengan harapan untuk menjadi yang terbaik. Sehingga arus slow living terpaksa kita lawan.

Slow Living ala Dr. Stephanie Brown

Slow living by Dr. Stephanie Brown
Slow living kata Dr. Stephanie Brown. Sumber Gambar : https://www.stephaniebrownphd.com/about/

Jika kamu flashback 10 tahun ke belakang. Sudah ibarat bumi banding langit.

Paling terasa melalui aplikasi di gadget, yang tiap menit ada aja versi barunya yang mengharuskan kita mengupdate.

Itu bukti bahwa penyesuaian-penyesuaian terjadi dengan cepat. Puluhan aplikasi bersaing menjadi yang paling innovative.

Akibat segalanya menuntut kecepatan. Kita jadi menghadapi banyak sekali distraksi, gangguan dan kehilangan sesuatu yang berharga tanpa terasa.

Kalo kita nggak sadar, akan lebih banyak lagi kerugian yang kita alami.

Jadi, hidup di era modern ini nggak boleh kita “ngalir gitu aja” ngikutin semua trend dan perkembangan.

Slow Living kata Sunan Kalijaga

mengalir tapi jangan tenggelam - sunan kalijaga
Mengalir tetapi jangan tenggelam, sumber gambar wikipedia

Perlu melek dengan kondisi, ada yang baik ada yang buruk.

Ya kita jangan ikuti arus yang membawa pada keterlenaan asyik dengan berbagai aplikasi, platform yang membuat kita terperangkap disana hingga lupa waktu.

Harus sadar!

Gaya Hidup Slow Living

Gaya hidup “slow living” menentang pergerakan dunia modern yang menuntut keterburu-buruan.

Biasanya seseorang akan kacau hidupnya kalau melakukan segala sesuatu dengan serba cepat. Kalo kamu merasakan seperti itu, artinya kamu harus meninggalkan “fast living” dan mesti balik lagi kepada gaya hidup yang Slow Lagi.

Pengertian Slow Living

Menurut Wiki: Slow living merupakan gaya hidup yang menekankan pada pendekatan yang lebih lambat pada aspek kehidupan sehari-hari.

Ini telah didefinisikan sebagai gerakan atau tindakan dengan kecepatan santai atau santai.

Sejarah Slow Living

carlo petrini slow living history

Slow living berasal dari slow food movement yang dibuat oleh Carlo Petrini pada tahun 1986 – Slowfood.com

Pria Italia ini dan Slow Food Movement berkampanye melawan gerakan fast food, terutama McDonalds, yang pada waktu itu baru buka di Piazza di Spagna, Roma, Italia.

Akhirnya konsep slow food menyebar ke dalam bidang lain, seperti slow cooking, slow pace work, bahkan liburan slow pace.

Tujuan “Slow Living”

1. Agar lebih khusyu spiritual

Pernah nggak sih teman-teman terburu-buru saat sholat? Alhamdulillah kalau jarang.

Tapi kalau sering merasakan hal sama seperti yang saya rasakan, artinya temen-temen harus mencoba melakukan Slow Living.

Kita tahu bahwa melakukan sholat secara khusyu ataupun tidak, sama-sama butuh waktu. Paling cepat ya 3 menit.

“Kalo dikerjakan dengan cepat” atau kalo “khusyu” pengerjaannya sekitar 5 menit-an untuk yang empat rakaat.

Bayangkan, teman-teman. Berapa banyak kita mengalokasikan waktu untuk sholat. Jika dikerjakan dengan tidak khusyu, apakah itu nggak sia-sia ?

Kenapa kita sering tidak khusyu sholatnya, salah satunya adalah karena memang zaman sekarang ini banyak sekali gangguan-gangguan, distraksi digital, yang secara pelan-pelan membunuh kekhusyu’an dan rasa fokus kita.

Jadi, Slow Living ini solusinya menurut saya. Katanya “woles aja” tapi kok terburu-buru. Lupa atau sudah terjebak oleh perkembangan dunia modern yang menuntut segalanya serba cepat?

2. Lebih menghargai hidup. Tidak wasting time.

Kalo kita merasa bahwa hidup pemberian Allah ini berharga. Pasti nggak akan menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada.

Bayangkan, setiap waktu adalah akhir waktu Anda di dunia ini. Dengan begitu kamu akan mikir-mikir lagi jika akan melakukan hal tak berguna.

Secara otomatis akan menolak kesia-siaan dan mengambil yang paling berharga, paling bermanfaat.

Menghargai hidup, artinya menghargai kesempatan usia. Untung Allah masih kasih kamu kepercayaan buat bertaubat, minta maaf. So, hargailah hidup kamu.

Nggak usah buru-buru menjalani semua yang ingin kamu capai. Nikmatilah, anugrah nikmat hidup pemberian Allah ini dengan “Slow Living” niscaya kamu akan jadi banyak bersyukur.

Lebih bahagia dan tenang hatinya. Nggak gampang terpengaruh sama orang lain.

3. Work life balance: Memperbaiki ketidakseimbangan

slow living

Apanya yang nggak seimbang?

Arah kehidupan di zaman modern ini tentunya berimbas kepada kehidupan kerja kamu, keluarga dan ibadah. Semua menuntut kecepatan. Nggak mau kita atau perusahaan kita tertinggal. Kalah, dengan kompetitor. Ingin jadi yang top terdepan.

Sehingga pemikiran tersebut berbuah kepada semua-muanya harus dilakukan serba cepat. Serba keras. Menabrak waktu. Menggilas nalar dan logika.

Pokoknya, bukan berorientasi pada proses. Melainkan hasil. Selama satu tahun, pokoknya revenue perusahaan kita harus sekian, sekian.

Tak ada yang salah dengan impian yang setinggi langit. Hanya saja, prosesnya terburu-buru. Buru-buru itu beda dengan cepat.

Tidak sama, ya. Kalo cepat semua sudah melalui tahap persiapan yang matang, perencanaan yang mendalam.

4. Melawan konsep “Segala-galanya bisa instant” di zaman modern ini.

Saya bilang, tidak ada jaminan. Yang pasti, apa yang diupayakan secara instant. Akan berakhir atau terlupakan dengan “cepat” juga.

Saya mengalami fenomena itu saat membuat sebuah desain instagram. Bayangkan, setiap hari membuat satu gambar. Proses pembuatannya butuh waktu yang nggak sebentar guys.

Tapi, manfaat yang diberikan dari produk gambar itu tidak bersifat long-lasting. Hanya bermanfaat “satu hari” malah untuk jenis-jenis gambar tertentu yang menyantumkan tanggal dan tahun. Itu kan instant bangeet.

Kenapa nggak melakukan sesuatu yang memiliki efek sangat oanjang dalam sekali pengerjaan. Coba berfikir mengenai “hight value content.”

5. Memperbaiki kualitas.

Apa saja. Baik itu kualitas pekerjaan kita. Kualitas ibadah, kualitas hubungan, serta kualitas kesehatan jasmani dan rohani.

Saya sepakat bahwa zaman modern era saat ini semua platform mendukung untuk berkompetisi dalam hitungan detik. Berlomba-lomba pamer trend yang menurutnya paling “nggak wajar, absurd, paling berani.”

Terutama platform berjenis social media. Yang memungkan kita semua saling terhubung.

Saling intip-mengintip kelebihan kekurangan, yang membuat kita jadi suka membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. Begitu juga dalam hal pembuatan konten.

Hampir setiap user adalah seorang konten kreator. Tapi tidak semua pengguna adalah creator content yang high value, high quality.

Kalo kita nggak mau terjebak dalam persaingan yang nggak sehat dan sia-sia, kita nggak harus mengikuti pola hidup fast living di era modern ini.

Justru, kita melaju berlawanan dengan kebanyakan orang dengan memilih gaya hidup “Slow Living.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.